Tiba-tiba pengen ngepos cerpen ini yang walaupun nggak jelas tapi cukup buat hati seneng karena bisa nyelesaiinnya. Jika sempat, silahkan mampir untuk membaca cerpen ini... saya akan lebih senang lagi jika kalian mau menyediakan waktu untuk memberi kritik dan saran kalian. Terima kasih.. =)
Storyline by Dana Rizky |
Author’s
POV
“Semarang,
31 Januari 2022”
Suara
kicauan burung terdengar dari sebuah ruangan, melewati jendela kaca yang
terbuka lebar. Seorang wanita duduk di pinggiran jendela sambil memainkan
gitarnya. Dan bernyanyi...
Dan
kau hadir merubah segalanya
Menjadi
lebih indah
Kau
bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku
terasa sempurna
Dan
membuatku utuh
Tuk
menjalani hidup
Berdua
denganmu selama-lamanya
Kaulah
yang terbaik untukku
Wanita
itu mengakhiri permainannya lalu kembali menatap jendela di hadapannya,
mengenang masa lalu. Wanita itu bernama Nada.
“Ehem!”
Nada
menoleh saat mendengar suara itu. Dua orang wanita tengah menatapnya sambil
tersenyum lebar. Nada menatap kedua orang itu yang terasa familiar.
“Nadaaaaa!!!!”
seru salah seorang dari mereka dengan suara cemprengnya dan menghampiri Nada
seraya merentangkan tangan. Bersiap memberikan pelukan hangat pada Nada.
Nada
terlihat menghindar. “Tunggu! Kalian... Bella? Citra?” tanya Nada ragu.
Salah
satu yang berambut sebahu menatap Nada dengan kesal. “Siapa lagi coba?”
gerutunya.
Nada
tertawa. “Maaf deh. Habis penampilan kalian beda banget.” katanya. Sontak Citra
dan Bella berpandangan, saling meneliti apakah benar mereka berubah.
“Emm..
Bener juga.” kata Citra, yang berambut sebahu. Kemudian ia mendudukkan dirinya
di atas kasur Nada, disusul dengan Bella.
Nada
menatap kedua wanita dihadapannya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan mereka.
Teman lamanya.
“Ngomong-ngomong
kalian tahu darimana kalau aku pulang? Keluargaku aja nggak aku kasih tahu.”
tanya Nada.
Bella
menyahut, “apa sih yang nggak kita tahu? Lagian kamu kan jarang-jarang pulang
ke Semarang jadi begitu denger kamu pulang, langsung deh kita kesini.”
“Sumpah
deh, Nad. Aku kangen berat sama kamu. Kamu terlalu sibuk belajar jadi nggak
pernah pulang.” keluh Citra membuat Nada tersenyum.
Walaupun
secara penampilan kedua temannya banyak berubah, namun mereka tetap cerewet
seperti dulu. “Aku pikir kalian berubah, ternyata masih sama cerewetnya kayak
dulu.” ucap Nada.
“Masa
sih? Waktu reuni akbar kemarin juga pada bilang gitu.” kata Bella. “Eh iya
ngomong-ngomong soal reuni, aku lihat Mas Dirga sama cewek. Cantik banget.
Kayaknya sih ceweknya.” cerita Bella. Nada memperhatikannya.
Citra
menautkan kedua alisnya mencoba mengingat-ingat. “Dirga siapa sih?” tanyanya.
Bella
berdecak kesal. “Masa nggak inget sih? Itu... Mantannya Nada.” jawab Bella.
Sontak kedua pasang mata itu langsung terarah ke Nada.
“Eh..bukan.
Cuma temen kok. Aku sama Mas Dirga nggak pacaran.” sahut Nada membuat mata
kedua temannya menyipit tanda curiga. “Beneran kok. Kami nggak ada hubungan
apa-apa.” tambahnya.
Bella
memutar kedua bola matanya. “Nggak percaya! Semua tahu kali kalo kamu ada
hubungan sama Mas Dirga.” komentar Bella.
Citra
berpikir. “Oh Dirga yang itu! Yang first love kamu kan, Nad?” tanya Citra. Bella
menoleh ke Citra.
“First
love? Cinta pertama?” tanya Bella. Citra mengangguk mengiyakan. “Kok aku nggak
tahu?” lanjutnya.
Nada
menatap kedua temannya. “Soalnya aku cuma cerita sama Citra. Yaa.. Aku pikir Citra
kan lebih eung...berpengalaman soal gituan jadi-”
“Ceritain!”
potong Bella. “Ceritain gimana ceritanya Mas Dirga itu cinta pertama kamu.”
Nada
terdiam sebentar. Kemudian mulai bernarasi, menceritakan kisah cinta
pertamanya.
* * *
Nada’s
POV
10
tahun yang lalu...
Sudah
sebulan berlalu sejak MOS tahun ajaran 2012/2013 berlangsung. Aku resmi menjadi
siswi SMA Negeri 6 Semarang. Dan sudah sebulan pula aku bergabung di ekskul
band sekolah. Walaupun aku tahu band sekolahku nggak semaju band sekolah lain
tapi aku cukup puas dengan anggota ekskulku.
Di
angkatan kelas 12, ada satu band terbentuk namanya The Hero. Aku nggak terlalu
paham mengapa mereka menamainya seperti itu. Yang aku tahu, personilnya adalah
Mbak Lita sebagai vokalis, Mas Rendi sebagai gitaris, Mas Agung sebagai
bassist, dan Mas Yoga di drummer. Mereka cukup keren loh waktu tampil. Apalagi
suara Mbak Lita bagus banget.
Di
angkatan kelas 11, juga ada satu band. Awalnya ada dua, tapi yang satu bubar
karena drummer mereka pindah. Band yang satunya lagi namanya Success Band. Agak
aneh denger nama bandnya. Para personilnya pun kurang jelas.
Drummernya
adalah Mas Reza, gitarisnya Mas Dirga, keyboardistnya Mbak Arum, bassistnya Mas
Andi, dan vokalisnya Mbak Riri. Dari semua personil, ada satu yang aku nggak
tahu orangnya yaitu Mbak Riri. Karena Mbak Riri nggak pernah datang setiap ada
ekskul.
Begitu
juga pada pertemuan hari ini. Dia tidak pernah datang.
“Nada!”
panggil Mas Dirga. Aku menoleh ke Mas Dirga. “Besok kamu jadi ikut latihan
Success Band sebentar ya? Ngegantiin Riri.” pinta Mas Dirga.
Aku
sedikit ragu dengan permintaan Mas Dirga. “Emangnya Mbak Riri nggak dateng lagi
ya, Mas?” tanyaku. Mas Dirga menggelengkan kepalanya.
Aku
masih ragu. Aku hanya merasa nggak enak sama anggota yang lain, yang satu
angkatan sama aku.
“Oke,
Nad? Sebentar aja kok.” pinta Mas Dirga. Aku pun akhirnya mengangguk.
Bagaimanapun aku nggak mungkin menolak permintaan Mas Dirga. Bisa dibilang
belagu nanti aku. “Sip deh. Pulang sekolah di aula sekolah.” lanjut Mas Dirga.
Aku hanya mengangguk.
* * *
Keesokan
harinya. Aku sedang berdiri di depan aula sekolah, bersiap masuk ke aula.
Walaupun agak ragu dan minder karena di dalam pasti isinya kakak kelas semua,
akhirnya aku pun masuk.
“Eh,
kamu Nada kan?” sapa salah seorang yang aku yakini adalah Mbak Arum.
Aku
mengangguk. Kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh aula. Hanya ada Mbak
Arum. “Yang lain kemana, Mbak?” tanyaku sambil menghampirinya.
“Reza
sama Dirga paling lagi makan. Kalau Andi kurang tahu.” jawabnya. Aku mengangguk
mengerti.
Kemudian
hanya ada keheningan yang memenuhi aula itu. Aku sendiri bingung mau bicara
apa.
“Suara
kamu keren loh.” kata Mbak Arum tiba-tiba.
Aku
menoleh menatapnya. Kemudian memasang senyum malu-malu. “Ah nggak kok, Mbak.”
Mbak
Arum menarikku untuk duduk di sebelahnya. “Eh bener lho suara kamu bagus. Di
pensi MOS kemarin bahkan kami pengen kamu gabung ekskul band. Untungnya kamu
gabung beneran.” kata Mbak Arum.
“Mbak
Arum bisa aja.” kataku.
Sebenarnya
aku ingin menanyakan kemana Mbak Riri, vokalis band mereka. Sampai sekarang aku
belum pernah lihat yang namanya Mbak Riri. Tapi belum sempat kutanyakan,
anggota band yang lain sudah datang. Mas Andi, Mas Reza, dan Mas Dirga.
Hei,
entah ini hanya perasaanku atau memang benar Mas Dirga terlihat berbeda.
Terlihat lebih keren dengan potongan rambut yang baru.
“Eh
udah ada Nada.” kata emm...sepertinya Mas Reza.
Aku
tersenyum sambil menyahuti perkataan Mas Reza. “Iya, Mas.” kataku.
Setelah
itu tidak ada yang istimewa. Mereka bermain musik dan aku bernyanyi,
menghasilkan alunan lagu Price Tag.
“Suara
kamu bagus, Nad.” kata Mas Dirga saat tinggal kami berdua di aula. Anggota yang
lain udah pada pulang.
Aku
menoleh menatap Mas Dirga. Kemudian tersenyum canggung “Ah, makasih Mas.”
ucapku. “Aku duluan ya, Mas.” pamitku kemudian.
“Eh,
bareng aja yuk!” ajak Mas Dirga. Wah sayang sekali hari itu aku dijemput.
Aku
mencoba tersenyum. “Nggak usah, Mas. Aku dijemput kok.” tolakku. Aku pun melangkah
keluar aula untuk pulang.
* * *
Setelah
hari itu, Success Band seringkali memintaku untuk ikut mereka latihan. Aku sih
seneng aja. Apalagi kalau Mas Dirga yang memintaku.
Tapi
masih ada satu hal yang membuatku penasaran. Mbak Riri masih nggak pernah datang.
Walaupun sekarang aku sudah tahu mana yang namanya Mbak Riri.
“Nad,
Desember nanti ada Smansix Euforia. Kemungkinan Success Band bakal tampil
disana. Kamu...jadi vokalisnya ya?” pinta Mas Dirga sepulang ekskul saat itu.
Aku
menatap Mas Dirga tak percaya. Smansix
Euforia? Ditonton orang banyak? Walaupun aku pernah beberapa kali tampil di
acara pensi, tapi aku belum pernah tampil di event besar seperti itu.
“Eh?
Aku, Mas?” tanyaku tak yakin.
Mas
Dirga mengangguk mantap. “Iya. Aku pikir kamu cocok jadi vocalis Success Band.”
katanya.
Aku
terdiam sebentar. “Tapi Mbak Riri?” tanyaku.
Dari
yang kulihat ekspresi Mas Dirga berubah saat aku menyebut nama Mbak Riri. “Riri
nggak bisa. Kalau kamu setuju nanti aku bilangin ke yang lain.” kata Mas Dirga.
“Aku
mau aja, Mas. Selama yang lain ngebolehin.” tanggapku.
Mas
Dirga tersenyum. “Sip. Besok dateng ya.”
Tanpa
sadar mataku terbelalak. “Eh? Besok udah latihan?” tanyaku.
Lagi-lagi
Mas Dirga memasang senyum manisnya. “Enggak kok. Anggep aja buat perkenalan
kamu sebagai vokalis Success Band.” ucapnya.
Aku
mendengus. “Bukannya biasanya juga udah ikut latihan ya?” cibirku.
Mas
Dirga tertawa. “Haha iya juga ya. Yah..yang kemarin kan nggak resmi. Cuma
minjem. Itung-itung besok peresmian.” sahutnya.
Mau
tak mau aku tersenyum mendengarnya.
* * *
“Nggak
bisa!” tolak Mas Andi. Aku baru saja akan masuk ke aula saat mendengar teriakan
Mas Andi. Loh? Ada apa ini? Dalam hati aku mempertanyakan apa yang sedang
terjadi.
Kemudian
terdengar suara Mas Dirga. “Ndi, kita nggak bisa terus-terusan nungguin Riri.
Band kita nggak bakal maju kalau kayak gitu terus.” tanggap Mas Dirga.
Aku
mencoba mengintip ke dalam aula melalui celah pintu yang sedikit terbuka.
Kulihat semua personil band ada di dalam. Kecuali Mbak Riri tentunya. Mas Andi berdiri
sambil menatap Mas Dirga sedangkan Mas Dirga berdiri bersandar pada tembok
aula.
“Inget,
Ga! Kita bentuk band ini sama Riri, harusnya kita juga sama dia sampai band ini
bubar. Apalagi Riri pengen banget tampil bareng kita di Smansix Euforia. Sayang
aja tahun kemarin nggak ada.” kata Mas Andi panjang lebar.
Kulihat
Mbak Arum berdiri menghampiri Mas Andi. “Sorry, Ndi, tapi aku lebih setuju sama
Dirga. Aku ngehargai kamu yang pengen band kita tetep sama Riri, juga keinginan
Riri yang tampil di SE. Tapi kemana dia? Sampai sekarang dia nggak pernah mau
latihan sama kita. Festival band kemarin juga kita lewatin gara-gara Riri nggak
mau. Kalau dia emang pengen tampil bareng kita di SE, ngeband bareng kita,
setidaknya dia dateng latihanlah.” ucap Mbak Arum panjang lebar.
Semuanya
menatap Mbak Arum, seolah tahu Mbak Arum belum selesai mengeluarkan
pendapatnya.
Mbak
Arum mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Mas Andi. “Anggota band kita nggak
cuma Riri. Ada Reza, Dirga, Kamu, juga Aku yang pengen ngeband lagi, tanpa
harus ada bayang-bayang Riri.” tambah Mbak Arum.
Kulihat
Mas Andi menatap tajam Mbak Arum sedangkan Mas Dirga..aku rasa itu ekspresi
orang yang merasa bersalah. Oke, sampai sini aku belum paham maksudnya. Kenapa
Mas Andi bersikeras kalau Mbak Riri harus ikut? Kenapa Mbak Riri nggak pernah
dateng? Kenapa Mas Dirga-menurut pengamatanku-merasa bersalah?
“Ndi,
kita nggak bisa gini terus. Aku pikir lebih baik kita ganti Riri untuk
sementara. Sampai Riri mau kembali.” kata Mas Dirga.
Mas
Andi tersenyum sinis sambil menatap Mas Dirga. “Yah...terserah kalian mau tetep
pake cewek itu atau nggak. Selama bukan Riri, aku juga nggak mau ngeband lagi.”
katanya seraya mengambil tas dan berjalan keluar aula.
Aku
segera memperbaiki posisiku saat Mas Andi keluar dari aula sambik melirikku
dengan tajam. Tak lama kemudian satu persatu mulai keluar dari aula setelah Mas
Reza mengatakan sesuatu.
“Aku
masih bisa main kalau cuma Riri yang nggak ada. Tapi kalau Andi juga nggak
main, lama-lama band kita bisa bubar.” kata Mas Reza, kemudian berjalan keluar
aula, disusul Mbak Arum.
Mbak
Arum berhenti sebentar saat melihatku di depan aula. “Loh kamu disini, Nad?”
sapa Mbak Arum. Aku mengangguk mengiyakan.
“Berarti
kamu tadi denger semuanya dong? Hemmh... Jangan dimasukin hati ya perkataannya
Andi. Dia bukannya nggak suka kamu jadi vokalis. Dia cuma nggak pengen
ninggalin Riri.” kata Mbak Arum sambil tersenyum.
Aku
membalas senyumnya. “Iya, Mbak. Aku juga ngerasa nggak enak sama Mbak Riri sama
Mas Andi juga.” tanggapku.
“Tenang
aja. Nanti juga semuanya baik-baik aja.” ucap Mbak Arum. “Duluan ya!” pamitnya
sambil melambaikan tangan. Kubalas dengan sedikit lambaian dan senyuman.
Lama
aku berdiri di depan aula, bimbang. Apa aku harus masuk ke dalam aula? Atau
pulang? Hingga akhirnya kuputuskan untuk masuk ke aula. Siapa tahu Mas Dirga
butuh seseorang buat menghiburnya?
Kulihat
Mas Dirga duduk di kursi sambil menundukkan kepalanya. Rasanya sedih melihat
Mas Dirga yang biasanya ceria jadi seperti itu.
Aku
berjalan mengambil gitar milik Mas Dirga yang tergeletak begitu saja. “Kok
belum pulang, Mas? Yang lain udah pulang daritadi lho.” ucapku sambil duduk di
salah satu kursi.
Mas
Dirga mengangkat kepalanya, sepertinya ia baru menyadari kehadiranku. “Nada?
Kamu kapan kesini?” tanya Mas Dirga.
Aku
tersenyum. “Barusan kok.” jawabku. Kemudian kupetik senar dari gitar yang kini
ada dipangkuanku. Saat kutatap Mas Dirga yang ternyata tengah melihatku.
“Kamu
bisa main gitar?” tanya Mas Dirga.
Aku
tersentak. “Eh? Itu..sedikit, Mas.” jawabku. Ugh..lagi-lagi Mas Dirga terlihat
keren. Dan...hei aku kenapa?
“Coba
main dong, Nad.” pintanya.
Walaupun
agak ragu dan juga...malu ditatap oleh Mas Dirga terus-menerus, akhirnya
kumainkan juga gitar itu. “Tapi jangan ketawa ya, Mas kalau jelek.” ucapku.
Jari-jariku
mulai menari memainkan gitar Mas Dirga. Mulutku pun secara reflek ikut
mengimbangi permainan gitarku dengan melantunkan lirik lagu Adera yang berjudul
Lebih Indah.
Saat
ku tenggelam dalam sendu
Waktupun
enggan untuk berlalu
Ku
berjanji tuk menutup pintu hatiku
Entah
untuk siapapun itu
Semakin
ku lihat masa lalu
Semakin
hatiku tak menentu
Tetapi
satu sinar terangi jiwaku
Saat
ku melihat senyummu
Kulihat
Mas Dirga bangkit berdiri dan menarik kursi seraya menghampiriku. Perlahan ia duduk
di hadapanku sambil menatapku yang tengah bernyanyi sambil memainkan gitar.
Dan
kau hadir merubah segalanya
Menjadi
lebih indah
Kau
bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku
merasa sempurna
Dan
membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua
denganmu selama-lamanya
Kaulah
yang terbaik untukku
Mas
Dirga tersenyum mendengar aku bernyanyi, masih sambil menatapku. Membuat
jemariku terasa kaku untuk terus memetik senar gitar ini. Lidahku terasa kelu,
sepertinya semua darahku mengalir ke wajahku sehingga semua aktivitasku
berhenti dan kurasa wajahku memerah.
“Loh
kok berhenti?” tanya Mas Dirga tiba-tiba.
Aku
tersentak. “Eh? Itu...biar nggak keterusan.” jawabku asal. Mungkin otakku
terlalu sibuk mengatur debaran jantungku sehingga malas memikirkan jawaban yang
tepat.
“Aku
pikir kamu cuma bisa nyanyi, ternyata punya bakat yang tersembunyi.” kata Mas
Dirga.
Aku
tertawa. “Bukan tersembunyi lagi. Mas Dirga aja yang nggak tahu.” sahutku.
“Oh
ya? Wah kayaknya aku harus update dulu nih.” gurau Mas Dirga seraya tertawa.
Hmmm...
Entah kenapa aku suka melihat Mas Dirga tertawa. Lebih indah dan nyaman buat
dilihat. Oke aku mulai ngelantur sekarang.
“Kayaknya
sia-sia nih kalau bakat kamu cuma aku yang denger. Kamu harus bener-bener
tampil besok waktu Smansix Euforia.” kata Mas Dirga bersemangat.
Aku
teringat Mas Andi yang nggak mau vokalisnya diganti. “Tapi Mas Andi...” ucapku
menggantung.
Mas
Dirga tersenyum. “Andi emang begitu orangnya. Dia cuma nggak pengen kita
ngelupain Riri. Pokoknya kamu tenang aja, kamu pasti tampil di SE.” ucapnya.
Aku
tersenyum mendengar Mas Dirga yang begitu optimis. Rasanya...menyenangkan.
* * *
Selanjutnya
walaupun kemarin Mas Andi nggak setuju aku ngegantiin Mbak Riri, tapi hari ini
dia datang. Mungkin ini bentuk keprofesionalan dia. Dia tiba-tiba setuju aku
bergabung di Success Band.
Di
tengah latihan, Mas Andi tiba-tiba mengajak Mas Dirga bicara berdua. Entah apa
yang mereka bicarakan tapi sepertinya sedikit serius.
“Kamu tahu kenapa Andi nggak mau posisi Riri
digantiin orang lain?” ucap Mbak Arum tiba-tiba saat Mas Reza keluar dari aula
untuk ke kamar mandi.
Aku
menoleh menatap Mbak Arum, kemudian menggelengkan kepala. Aku memang tidak tahu
kenapa.
“Karena
Andi suka sama Riri.” lanjut Mbak Arum. Aku terbelalak mendengarnya. Ini berita
baru bagiku walaupun Mbak Arum bilang banyak yang tahu fakta itu. “Andi suka
sama Riri makanya dia bersikeras supaya Riri ngeband lagi sama kita. Tapi aku
tahu Riri nggak bakal mau. Dia nggak akan ngingkarin janji yang dia buat
sendiri.” jelas Mbak Arum.
Aku
hanya bisa mendengarkan dengan seksama tanpa tahu harus menanggapi apa.
“Tapi
sayangnya Riri suka sama Dirga.” lanjut Mbak Arum. Oke, aku rasa ini mulai
mirip sinetron. Tapi entah kenapa aku merasa sedih mendengar Mbak Riri suka
sama Mas Dirga. Sial! Aku mulai lagi.
Mbak
Arum ngelanjutin ceritanya. “Riri suka sama Dirga tapi Dirga cuma nganggep Riri
sebagai temen. Sebelumnya, Riri pernah bilang kalau dia mau bilang ke Dirga
soal perasaannya. Katanya dia bakal keluar dari band kalau Dirga nolak dia. Dan
bener. Riri bukan orang yang mau menjilat ludahnya sendiri. Aku yakin Riri
keluar dari band. Makanya Andi marah waktu denger alesan Riri keluar. Walaupun
begitu, kita tetep anggep Riri sebagai vokalis Success Band. Sampai akhirnya
Dirga lihat kamu waktu pensi. Dia bilang ke aku kalau dia pengen kamu jadi
vokalis ngegantiin Riri. Aku sih setuju aja soalnya Riri juga nggak akan balik.
Dan jadilah kayak kemarin itu.” cerita Mbak Arum panjang lebar.
Aku
mengerti sekarang. Kenapa Mas Andi bersikeras kalau Mbak Riri nggak boleh
digantiin siapapun. Kenapa Mas Dirga merasa bersalah. Kenapa Mas Andi
ngelihatin Mas Dirga dengan sinis. Oh dengan aku juga. Aku ngerti.
Tak
lama kemudian, Mas Dirga dan Mas Andi kembali. Entah apa yang mereka bicarakan
tapi sepertinya mereka telah akur. Dan selanjutnya kami pun berlatih kembali.
* * *
Semakin
hari Success Band berlatih semakin giat. Dan sudah fix kami bakal tampil di
Smansix Euforia, membawakan dua lagu. Nggak terlalu banyak tapi bukan berarti
jadi lebih mudah.
Hari
ini hari terakhir latihan. Oh ya, beberapa hari terakhir kami lebih sering
latihan di studio musik milik temannya Mas Dirga. Soalnya kalau latihan di aula
juga harus gantian dengan yang lain. Kan yang mau tampil bukan cuma kami.
Meski
ku bukan bintang di langit
Tapi
cintaku yang terbaik
Tanpa
sadar senyumku mengembang. Latihan hari ini bener-bener lancar tanpa halangan
apapun. Bahkan selesai lebih awal dari yang diperkirakan.
“Aku
pulang duluan ya. Mau ada acara soalnya.” Kata Mbak Arum tiba-tiba.
Serentak
kami berempat mengangguk. Tak perlu menunggu lama hingga tinggal aku dan Mas
Dirga saja di ruangan itu.
“Mau
langsung pulang, Nad?” tanya Mas Dirga.
Kulihat
Mas Dirga yang masih membereskan gitarnya. Tadi itu... Mas Dirga tanya sama aku
kan? Nggak salah denger kan? Tapi kok Mas Dirga sibuk beresin gitar ya? Apa
tadi cuma ilusi aku aja?
Tiba-tiba
Mas Dirga menoleh ke arahku. Apa ia sadar kuperhatikan?
“Kok
nggak jawab, Nad?” tanya Mas Dirga.
Aku
menatapnya bingung.
“Eh,
Mas Dirga tadi tanya apa?” tanyaku. Aduh kenapa aku jadi lemot begini?
Sambil
menenteng gitarnya, Mas Dirga menatapku. Oh oh.. detak jantungku sepertinya
mulai berulah lagi. “Kamu mau langsung pulang atau mau ikut aku?”
Aku
menatapnya bingung. Haduh.. tuh kan aku lemot banget. Mana jantungku detaknya
cepet banget lagi. “Eh, ikut kemana ya, Mas?” tanyaku.
“Ke
atap.”
Alisku
tanpa sadar mengernyit keheranan. “Atap?”
* * *
Today is Smansix Euforia’s Day...
Kalimat
itulah yang pertama kali muncul di kepalaku begitu aku bangun pagi ini. Ya,
hari ini adalah hari H. Harinya Smansix Euforia. Dan disinilah aku sekarang. Di
panggung Smansix Euforia di lapangan SMA Negeri 6 Semarang dengan sebuah microphone di genggamanku.
Kami
sedang tampil sore ini dengan membawakan lagu Lumpuhkanlah Ingatanku dari
Geisha. Aku senang karena respon penonton cukup baik.
Tapi
entah kenapa aku merasa akan terjadi sesuatu hari ini. Aduh.. pikiranku lagi
ngelantur nih. Mungkin aku terlalu gugup. Yah.. walaupun aku pernah tampil di
depan umum, tapi di acara sebesar ini.... sepertinya belum pernah.
Walaupun
pada akhirnya tepuk tangan yang diberikan penonton tak seantusias bila band
ibukota yang tampil, tapi aku cukup puas dengan penampilanku. Dan aku senang
karena perasaan khawatirku hanyalah buah dari kegugupanku semata.
Bahkan
penampilan kedua kami juga tak bisa dibilang buruk walau tak sebagus penyanyi
aslinya. Cinta Terbaik... Cassandra.
Meski
ku bukan yang pertama
Di
hatimu tapi cintaku terbaik untukmu
Meski
ku bukan bintang di langit
Tapi
cintaku yang terbaik
Gemuruh
tepuk tangan dari penonton mengundangku untuk tersenyum lebar.
Kami
pun turun dari panggung dengan perasaan senang.
“Kamu
tadi keren banget, Nad!” puji Mas Reza.
Aduh
aku jadi malu. Kurasa pipiku sudah seperti kepiting rebus. Sangat meraaaah!
“Mas
Reza bisa aja. Yang bikin keren bukan aku lagi, tapi kita semua. Iya kan,
Mbak?” kataku sambil menepuk pelan bahu Mbak Arum.
Tak
ada sahutan dari Mbak Arum. Kupalingkan wajahku untuk melihat Mbak Arum.
“Argh...”
rintih Mbak Arum. Tangan kirinya terjulur perlahan untuk memegangku sebagai
penopang sedangkan tangan kanannya meremas pelan perutnya.
Mataku
terbelalak ketika melihat pucatnya wajah Mbak Arum. “Mbak Arum kenapa?” pekikku.
Sontak membuat Mas Reza, Mas Dirga, dan Mas Andi memalingkan pandangannya ke
arahku.
“Shaa..khi...tt..Nhaad...”
rintih Mbak Arum sebelum tiba-tiba tubuhnya linglung dan pingsan.
“Mbak
Arum!” pekikku.
Dengan
sigap Mas Andi dan Mas Dirga menahan tubuh Mbak Arum. Kami segera membawa Mbak
Arum ke rumah sakit terdekat menggunakan mobil Mas Reza.
* * *
Mas
Reza terlihat mondar-mandir di depan ruang UGD. Mas Andi terduduk di ruang
tunggu dengan kepala menunduk. Mas Dirga entah sibuk dengan ponselnya.
Sedangkan aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, cemas akan keadaan Mbak Arum
yang bahkan tidak kuketahui apa sakitnya.
“Sial!
Kita harus balik nih!” umpat Mas Dirga tiba-tiba. Ponselnya yang sedari tadi
tertempel di telinga, kini telah berpindah ke jemari tangannya.
Mas
Andi yang tadi duduk dengan segera berdiri menghampiri Mas Dirga. “Kenapa, Ga?”
tanyanya.
Aku
sendiri hanya menatap bingung ketiga lelaki itu.
Mas
Dirga berdecak kesal. “Panitia bilang kita harus balik soalnya nggak ada yang
bisa ngisi waktu tampil kita.” Kata Mas Dirga.
“Kalau
kita balik ke sekolah, yang jaga Mbak Arum disini siapa?” tanyaku.
Mas
Andi terlihat mengacak rambutnya sedangkan Mas Reza terdiam tak tahu harus
berbuat apa.
“Kalian
balik aja di sekolah.” Celetuk Mas Reza tiba-tiba. Sontak ketiga pasang mata
langsung tertuju padanya. Mas Dirga menatapnya bingung dan Mas Andi
mengernyitkan keningnya. “Kalian balik aja terus lanjutin tampil. Yang penting
ada penyanyi sama satu yang musik yang ngiringin udah cukup. Biar aku yang
jagain Arum.” Jelas Mas Reza panjang lebar.
Itu
artinya aku tampil sendiri. Bukan, tampil berdua.
“Aku
setuju.”
Kupalingkan
wajahku menatap Mas Andi yang tiba-tiba saja bersuara.
“Aku
setuju sama usul Reza. Daripada Smansix Euforia jadi nggak lancar, lebih baik
balik ke sekolah. Nada bisa nyanyi diiringin gitar kamu, Ga.” Katanya.
Mas
Dirga terlihat berpikir sedangkan aku tidak tahu harus berbuat apa.
“Okay, setuju.” Ucap Mas Dirga.
* * *
Di
samping kiriku, Mas Dirga duduk dengan sebuah gitar di pangkuannya. Sebuah stand mic lengkap dengan microphonenya
telah bertengger di hadapanku. Kami akhirnya setuju dengan usul Mas Reza.
Dengan diantar Mas Andi, aku dan Mas Dirga kembali ke sekolah.
“Kita nanti nyanyiin lagu waktu di
atap aja. Lagunya Aderra yang Lebih Indah.”
Aku
masih ingat jelas kata-kata Mas Dirga tadi. Sedikit demi sedikit kegugupanku
mulai luntur seiring dengan nyanyian yang kulantunkan. Kulihat Mas Dirga yang
menikmati permainan gitarnya yang memang bagus.
Dan
kau hadir merubah segalanya
Menjadi
lebih indah
Kau
bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku
terasa sempurna
Dan
membuatku utuh
Tuk
menjalani hidup
Berdua
denganmu selama-lamanya
Kaulah
yang terbaik untukku
Mas
Dirga mengakhiri permainan gitarnya selang beberapa detik setelah lirik yang
kulantunkan selesai. Terdengar riuh tepuk tangan penonton yang harus kuakui
tidak seramai saat penampilanku dengan Success Band tadi. Tapi aku senang dapat
mengakhiri penampilanku tanpa cacat sedikitpun.
Begitu
selesai, kami pun turun dari panggung.
“Kita
berhasil, Nad!” seru Mas Dirga.
Kulihat
Mas Dirga dengan senyum tersungging di bibirnya. Aku pun mengangguk dengan
antusias. Sangat antusias. Mungkin efek dari jantungku yang berulah lagi
seperti habis marathon.
“Dirga...”
Tiba-tiba
seorang gadis cantik menghampiri Mas Dirga. Kuperhatikan gadis itu yang
sepertinya pernah kulihat. Tapi siapa ya?
Mataku
terbelalak begitu menyadari siapa dia.
“Mbak
Riri...” gumamku pelan.
Tanpa
sadar kuambil langkah menjauhi mereka. Entah mengapa aku tak begitu suka.
Apalagi melihat Mas Dirga yang tertawa lebar seperti itu. Dan juga sepertinya
Mas Dirga tidak terlalu peduli padaku. Lihat saja! Dia bahkan tidak tahu aku
meninggalkan mereka. Ah.. kenapa lagi jantungku? Sekarang terasa sesak.
* * *
Author’s
POV
“Semarang,
31 Januari 2022”
Hening.
Baik Citra maupun Bella, tak satupun dari mereka yang menyahuti akhir kisah
dari cinta pertama Nada membuat gadis itu berdecak kesal.
“Hei!
Aku kan udah cerita panjang lebar! Masa nggak ada responnya?” protes Nada.
Citra
dan Bella pun memperbaiki duduknya seperti semula setelah beberapa saat
bertengkurap di atas ranjang milik Nada.
“Jadi,
intinya, kalian nggak pacaran?” tanya Bella memecah keheningan.
Nada
melengos. “Aku kan udah bilang aku nggak pacaran sama Mas Dirga.” Jawab Nada.
Bella
dan Citra membulatkan bibirnya ber-‘OH’ ria.
“Terus
Mas Dirga pacaran sama Mbak Riri?” tanya Bella lagi.
Nada
mengangkat kedua bahunya, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak tahu juga.
Setelah Smansix Euforia aku jarang ketemu Mas Dirga. Mas Dirga kan akselerasi jadi
sibuk buat UN.” Jelas Nada.
“Waktu
di atap kamu yakin dia juga nggak ngomong sesuatu yang penting gitu?” tanya
Citra.
Nada
pun menggeleng pelan. “Entahlah aku nggak yakin. Yang aku inget sih enggak.”
Jawab Nada pelan.
Bella
mendengus. “Tukang PHP tuh Mas Dirga!” Celetuk Nada yang langsung dihadiahi
sebuah toyoran di kepalanya dari Nada.
* * *
“Semarang,
01 Maret 2022”
Nada
berjalan memasuki halaman SMA Negeri 6 Semarang. Setelah sekian lama ia tidak
ke sekolah ini, akhirnya ia kembali untuk mengikuti Reuni Akbar. Banyak yang
sudah berubah dari sekolah ini. Bahkan setiap kelasnya pun menggunakan AC.
Berbeda sekali dengan jamannya dulu.
Nada
berhenti di Hall Sekolah sambil celingukan mencari seseorang yang mungkin
dikenalnya. Namun hanya angkatan kakak kelas yang ditemuinya sepanjang mata
memandang.
“Nada....”
Tiba-tiba
sebuah suara berat memanggil namanya. Ia palingkan wajahnya untuk mencari si
empunya suara. Seorang pria tinggi dengan alis tebal dan senyum yang sangat
familiar bagi Nada. Benarkah pria itu....
“Mas
Dirga?” tanya Nada.
Pria
itu tersenyum semakin lebar membuat Nada yakin jawabannya benar.
“Apa
kabar, Nad?”
* * *
EPILOG
10
tahun yang lalu, H-1 Smansix Euforia, di atap gedung studio musik...
Nada
mengikuti Dirga yang berjalan sambil menenteng gitarnya menuju atap gedung
tempat studio musik yang Success Band gunakan untuk latihan. Dialihkannya
pandangannya untuk menelanjangi panorama yang terlihat dari atap gedung itu.
Pemandangan Kota Semarang. Ditambah langit sore yang mulai dihiasi semburat kekuningan
sang surya.
Mau
tak mau Nada terkagum-kagum melihat pemandangan yang jarang dilihatnya itu,
walaupun gedung itu bukan merupakan gedung tertinggi.
Dirga
kemudian duduk bersila.
“Duduk,
Nad..” kata Dirga.
Nada
pun ikut duduk di samping Dirga dengan menekuk kedua kakinya sambil ia peluk
kedua lututnya.
“Enak
kan disini?” tanya Dirga.
Nada
mengangguk. Ia setuju dengan Dirga. Ia kemudian melirik gitar yang dibawa
Dirga. “Itu gitarnya buat apa, Mas?” tanya Nada.
Dirga
pun melihat gitar yang dipangkunya. “Oh.. aku pengen aja gitaran disini.”
Jawabnya.
“Kalau
gitu mainin, Mas.” Pinta Nada.
Dirga
terlihat berpikir sebentar kemudian menganggukkan kepalanya. “Oke, tapi kamu
nyanyi ya.” Sahut Dirga.
Akhirnya
Nada pun mengiyakan perkataan Dirga.
Perlahan
jemari terlatih milik Dirga mulai memetik senar gitarnya. Lantunan intro dari
lagu Lebih Indah-nya Aderra pun mulai terdengar. Ah.. lagu kesukaan Nada.
Saat
ku tenggelam dalam sendu
Waktupun
enggan untuk berlalu
Ku
berjanji tuk menutup pintu hatiku
Entah
untuk siapapun itu
Semakin
ku lihat masa lalu
Semakin
hatiku tak menentu
Tetapi
satu sinar terangi jiwaku
Saat
ku melihat senyummu
Tanpa
sadar mata Dirga terus memperhatikan gadis di hadapannya itu. Rambut Nada yang
diikat tanpa poni bergoyang-goyang dihembus angin. Perlahan senyum Dirga
mengembang.
Dan
kau hadir merubah segalanya
Menjadi
lebih indah
Kau
bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku
merasa sempurna
Dan
membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua
denganmu selama-lamanya
Kaulah
yang terbaik untukku
Kini
ku ingin hentikan waktu
Bila
kau berada di dekatku
Bunga
cinta bermekaran dalam jiwaku
Kan
ku petik satu untukmu
Nada
terus melantunkan lagu itu. Ia semakin menikmati sore itu. Menikmati permainan
gitar Dirga. Menikmati lirik yang dilantunkannya. Menikmati semburat jingga
yang mulai terlukis di langit. Menikmati semuanya. Menikmati ciptaan Tuhan yang
tanpa ia sadari mulai memikat hatinya. Dirga.
Dan
kau hadir merubah segalanya
Menjadi
lebih indah
Kau
bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku
merasa sempurna
Dan
membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua
denganmu selama-lamanya
Kaulah
yang terbaik untukku
Dua
bait terakhir yang ikut dinyanyikan Dirga membuat Nada semakin senang. Sore
yang sangat indah.
Dirga
kemudian mengeluarkan handphonenya lengkap dengan sebuah headset. “Mau dengerin lagu nggak?” tanya Dirga.
Dengan
antusias Nada menganggukkan kepalanya.
Dipasangkannya
headset itu ke telinga kiri dan kanan
Nada. Kemudian ia putar lagu dari handphonenya.
Awalnya
Nada mengernyit mendengar lagu yang asing baginya itu. Namun lama-lama ia
menikmati lagu tersebut. “Ini lagu siapa?” tanya Nada.
Dirga
tersenyum. “Menurut kamu lagu siapa?”
Nada
membelalakkan matanya. “Jangan-jangan... lagu ciptaan Mas Dirga?” tebak Nada.
Dirga hanya tersenyum malu membuat Nada yakin akan tebakannya.
Selanjutnya
ia begitu menikmati lagu tersebut.
Dirga
terus menatap gadis itu dengan penuh senyuman. “Aku suka sama kamu, Nad.” Ucap
Dirga pelan yang tentu saja tak dapat didengar telinga Nada yang disumpal headset.
Dan
sore itu pun berakhir dengan sangat indah bagi kedua manusia itu.
-
END -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar