Jumat, 30 Mei 2014

[SHORT STORY] First Love 'Music of Love' by Dana Rizky

Tiba-tiba pengen ngepos cerpen ini yang walaupun nggak jelas tapi cukup buat hati seneng karena bisa nyelesaiinnya. Jika sempat, silahkan mampir untuk membaca cerpen ini... saya akan lebih senang lagi jika kalian mau menyediakan waktu untuk memberi kritik dan saran kalian. Terima kasih.. =)
Storyline by Dana Rizky
Author’s POV
“Semarang, 31 Januari 2022”
Suara kicauan burung terdengar dari sebuah ruangan, melewati jendela kaca yang terbuka lebar. Seorang wanita duduk di pinggiran jendela sambil memainkan gitarnya. Dan bernyanyi...
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku terasa sempurna
Dan membuatku utuh
Tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Wanita itu mengakhiri permainannya lalu kembali menatap jendela di hadapannya, mengenang masa lalu. Wanita itu bernama Nada.
“Ehem!”
Nada menoleh saat mendengar suara itu. Dua orang wanita tengah menatapnya sambil tersenyum lebar. Nada menatap kedua orang itu yang terasa familiar.
“Nadaaaaa!!!!” seru salah seorang dari mereka dengan suara cemprengnya dan menghampiri Nada seraya merentangkan tangan. Bersiap memberikan pelukan hangat pada Nada.
Nada terlihat menghindar. “Tunggu! Kalian... Bella? Citra?” tanya Nada ragu.
Salah satu yang berambut sebahu menatap Nada dengan kesal. “Siapa lagi coba?” gerutunya.
Nada tertawa. “Maaf deh. Habis penampilan kalian beda banget.” katanya. Sontak Citra dan Bella berpandangan, saling meneliti apakah benar mereka berubah.
“Emm.. Bener juga.” kata Citra, yang berambut sebahu. Kemudian ia mendudukkan dirinya di atas kasur Nada, disusul dengan Bella.
Nada menatap kedua wanita dihadapannya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan mereka. Teman lamanya.
“Ngomong-ngomong kalian tahu darimana kalau aku pulang? Keluargaku aja nggak aku kasih tahu.” tanya Nada.
Bella menyahut, “apa sih yang nggak kita tahu? Lagian kamu kan jarang-jarang pulang ke Semarang jadi begitu denger kamu pulang, langsung deh kita kesini.”
“Sumpah deh, Nad. Aku kangen berat sama kamu. Kamu terlalu sibuk belajar jadi nggak pernah pulang.” keluh Citra membuat Nada tersenyum.
Walaupun secara penampilan kedua temannya banyak berubah, namun mereka tetap cerewet seperti dulu. “Aku pikir kalian berubah, ternyata masih sama cerewetnya kayak dulu.” ucap Nada.
“Masa sih? Waktu reuni akbar kemarin juga pada bilang gitu.” kata Bella. “Eh iya ngomong-ngomong soal reuni, aku lihat Mas Dirga sama cewek. Cantik banget. Kayaknya sih ceweknya.” cerita Bella. Nada memperhatikannya.
Citra menautkan kedua alisnya mencoba mengingat-ingat. “Dirga siapa sih?” tanyanya.
Bella berdecak kesal. “Masa nggak inget sih? Itu... Mantannya Nada.” jawab Bella. Sontak kedua pasang mata itu langsung terarah ke Nada.
“Eh..bukan. Cuma temen kok. Aku sama Mas Dirga nggak pacaran.” sahut Nada membuat mata kedua temannya menyipit tanda curiga. “Beneran kok. Kami nggak ada hubungan apa-apa.” tambahnya.
Bella memutar kedua bola matanya. “Nggak percaya! Semua tahu kali kalo kamu ada hubungan sama Mas Dirga.” komentar Bella.
Citra berpikir. “Oh Dirga yang itu! Yang first love kamu kan, Nad?” tanya Citra. Bella menoleh ke Citra.
“First love? Cinta pertama?” tanya Bella. Citra mengangguk mengiyakan. “Kok aku nggak tahu?” lanjutnya.
Nada menatap kedua temannya. “Soalnya aku cuma cerita sama Citra. Yaa.. Aku pikir Citra kan lebih eung...berpengalaman soal gituan jadi-”
“Ceritain!” potong Bella. “Ceritain gimana ceritanya Mas Dirga itu cinta pertama kamu.”
Nada terdiam sebentar. Kemudian mulai bernarasi, menceritakan kisah cinta pertamanya.
* * *
Nada’s POV
10 tahun yang lalu...

Sudah sebulan berlalu sejak MOS tahun ajaran 2012/2013 berlangsung. Aku resmi menjadi siswi SMA Negeri 6 Semarang. Dan sudah sebulan pula aku bergabung di ekskul band sekolah. Walaupun aku tahu band sekolahku nggak semaju band sekolah lain tapi aku cukup puas dengan anggota ekskulku.
Di angkatan kelas 12, ada satu band terbentuk namanya The Hero. Aku nggak terlalu paham mengapa mereka menamainya seperti itu. Yang aku tahu, personilnya adalah Mbak Lita sebagai vokalis, Mas Rendi sebagai gitaris, Mas Agung sebagai bassist, dan Mas Yoga di drummer. Mereka cukup keren loh waktu tampil. Apalagi suara Mbak Lita bagus banget.
Di angkatan kelas 11, juga ada satu band. Awalnya ada dua, tapi yang satu bubar karena drummer mereka pindah. Band yang satunya lagi namanya Success Band. Agak aneh denger nama bandnya. Para personilnya pun kurang jelas.
Drummernya adalah Mas Reza, gitarisnya Mas Dirga, keyboardistnya Mbak Arum, bassistnya Mas Andi, dan vokalisnya Mbak Riri. Dari semua personil, ada satu yang aku nggak tahu orangnya yaitu Mbak Riri. Karena Mbak Riri nggak pernah datang setiap ada ekskul.
Begitu juga pada pertemuan hari ini. Dia tidak pernah datang.
“Nada!” panggil Mas Dirga. Aku menoleh ke Mas Dirga. “Besok kamu jadi ikut latihan Success Band sebentar ya? Ngegantiin Riri.” pinta Mas Dirga.
Aku sedikit ragu dengan permintaan Mas Dirga. “Emangnya Mbak Riri nggak dateng lagi ya, Mas?” tanyaku. Mas Dirga menggelengkan kepalanya.
Aku masih ragu. Aku hanya merasa nggak enak sama anggota yang lain, yang satu angkatan sama aku.
“Oke, Nad? Sebentar aja kok.” pinta Mas Dirga. Aku pun akhirnya mengangguk. Bagaimanapun aku nggak mungkin menolak permintaan Mas Dirga. Bisa dibilang belagu nanti aku. “Sip deh. Pulang sekolah di aula sekolah.” lanjut Mas Dirga. Aku hanya mengangguk.
* * *
Keesokan harinya. Aku sedang berdiri di depan aula sekolah, bersiap masuk ke aula. Walaupun agak ragu dan minder karena di dalam pasti isinya kakak kelas semua, akhirnya aku pun masuk.
“Eh, kamu Nada kan?” sapa salah seorang yang aku yakini adalah Mbak Arum.
Aku mengangguk. Kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh aula. Hanya ada Mbak Arum. “Yang lain kemana, Mbak?” tanyaku sambil menghampirinya.
“Reza sama Dirga paling lagi makan. Kalau Andi kurang tahu.” jawabnya. Aku mengangguk mengerti.
Kemudian hanya ada keheningan yang memenuhi aula itu. Aku sendiri bingung mau bicara apa.
“Suara kamu keren loh.” kata Mbak Arum tiba-tiba.
Aku menoleh menatapnya. Kemudian memasang senyum malu-malu. “Ah nggak kok, Mbak.”
Mbak Arum menarikku untuk duduk di sebelahnya. “Eh bener lho suara kamu bagus. Di pensi MOS kemarin bahkan kami pengen kamu gabung ekskul band. Untungnya kamu gabung beneran.” kata Mbak Arum.
“Mbak Arum bisa aja.” kataku.
Sebenarnya aku ingin menanyakan kemana Mbak Riri, vokalis band mereka. Sampai sekarang aku belum pernah lihat yang namanya Mbak Riri. Tapi belum sempat kutanyakan, anggota band yang lain sudah datang. Mas Andi, Mas Reza, dan Mas Dirga.
Hei, entah ini hanya perasaanku atau memang benar Mas Dirga terlihat berbeda. Terlihat lebih keren dengan potongan rambut yang baru.
“Eh udah ada Nada.” kata emm...sepertinya Mas Reza.
Aku tersenyum sambil menyahuti perkataan Mas Reza. “Iya, Mas.” kataku.
Setelah itu tidak ada yang istimewa. Mereka bermain musik dan aku bernyanyi, menghasilkan alunan lagu Price Tag.
“Suara kamu bagus, Nad.” kata Mas Dirga saat tinggal kami berdua di aula. Anggota yang lain udah pada pulang.
Aku menoleh menatap Mas Dirga. Kemudian tersenyum canggung “Ah, makasih Mas.” ucapku. “Aku duluan ya, Mas.” pamitku kemudian.
“Eh, bareng aja yuk!” ajak Mas Dirga. Wah sayang sekali hari itu aku dijemput.
Aku mencoba tersenyum. “Nggak usah, Mas. Aku dijemput kok.” tolakku. Aku pun melangkah keluar aula untuk pulang.
* * *
Setelah hari itu, Success Band seringkali memintaku untuk ikut mereka latihan. Aku sih seneng aja. Apalagi kalau Mas Dirga yang memintaku.
Tapi masih ada satu hal yang membuatku penasaran. Mbak Riri masih nggak pernah datang. Walaupun sekarang aku sudah tahu mana yang namanya Mbak Riri.
“Nad, Desember nanti ada Smansix Euforia. Kemungkinan Success Band bakal tampil disana. Kamu...jadi vokalisnya ya?” pinta Mas Dirga sepulang ekskul saat itu.
Aku menatap Mas Dirga tak percaya.  Smansix Euforia? Ditonton orang banyak? Walaupun aku pernah beberapa kali tampil di acara pensi, tapi aku belum pernah tampil di event besar seperti itu.
“Eh? Aku, Mas?” tanyaku tak yakin.
Mas Dirga mengangguk mantap. “Iya. Aku pikir kamu cocok jadi vocalis Success Band.” katanya.
Aku terdiam sebentar. “Tapi Mbak Riri?” tanyaku.
Dari yang kulihat ekspresi Mas Dirga berubah saat aku menyebut nama Mbak Riri. “Riri nggak bisa. Kalau kamu setuju nanti aku bilangin ke yang lain.” kata Mas Dirga.
“Aku mau aja, Mas. Selama yang lain ngebolehin.” tanggapku.
Mas Dirga tersenyum. “Sip. Besok dateng ya.”
Tanpa sadar mataku terbelalak. “Eh? Besok udah latihan?” tanyaku.
Lagi-lagi Mas Dirga memasang senyum manisnya. “Enggak kok. Anggep aja buat perkenalan kamu sebagai vokalis Success Band.” ucapnya.
Aku mendengus. “Bukannya biasanya juga udah ikut latihan ya?” cibirku.
Mas Dirga tertawa. “Haha iya juga ya. Yah..yang kemarin kan nggak resmi. Cuma minjem. Itung-itung besok peresmian.” sahutnya.
Mau tak mau aku tersenyum mendengarnya.
* * *
“Nggak bisa!” tolak Mas Andi. Aku baru saja akan masuk ke aula saat mendengar teriakan Mas Andi. Loh? Ada apa ini? Dalam hati aku mempertanyakan apa yang sedang terjadi.
Kemudian terdengar suara Mas Dirga. “Ndi, kita nggak bisa terus-terusan nungguin Riri. Band kita nggak bakal maju kalau kayak gitu terus.” tanggap Mas Dirga.
Aku mencoba mengintip ke dalam aula melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Kulihat semua personil band ada di dalam. Kecuali Mbak Riri tentunya. Mas Andi berdiri sambil menatap Mas Dirga sedangkan Mas Dirga berdiri bersandar pada tembok aula.
“Inget, Ga! Kita bentuk band ini sama Riri, harusnya kita juga sama dia sampai band ini bubar. Apalagi Riri pengen banget tampil bareng kita di Smansix Euforia. Sayang aja tahun kemarin nggak ada.” kata Mas Andi panjang lebar.
Kulihat Mbak Arum berdiri menghampiri Mas Andi. “Sorry, Ndi, tapi aku lebih setuju sama Dirga. Aku ngehargai kamu yang pengen band kita tetep sama Riri, juga keinginan Riri yang tampil di SE. Tapi kemana dia? Sampai sekarang dia nggak pernah mau latihan sama kita. Festival band kemarin juga kita lewatin gara-gara Riri nggak mau. Kalau dia emang pengen tampil bareng kita di SE, ngeband bareng kita, setidaknya dia dateng latihanlah.” ucap Mbak Arum panjang lebar.
Semuanya menatap Mbak Arum, seolah tahu Mbak Arum belum selesai mengeluarkan pendapatnya.
Mbak Arum mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Mas Andi. “Anggota band kita nggak cuma Riri. Ada Reza, Dirga, Kamu, juga Aku yang pengen ngeband lagi, tanpa harus ada bayang-bayang Riri.” tambah Mbak Arum.
Kulihat Mas Andi menatap tajam Mbak Arum sedangkan Mas Dirga..aku rasa itu ekspresi orang yang merasa bersalah. Oke, sampai sini aku belum paham maksudnya. Kenapa Mas Andi bersikeras kalau Mbak Riri harus ikut? Kenapa Mbak Riri nggak pernah dateng? Kenapa Mas Dirga-menurut pengamatanku-merasa bersalah?
“Ndi, kita nggak bisa gini terus. Aku pikir lebih baik kita ganti Riri untuk sementara. Sampai Riri mau kembali.” kata Mas Dirga.
Mas Andi tersenyum sinis sambil menatap Mas Dirga. “Yah...terserah kalian mau tetep pake cewek itu atau nggak. Selama bukan Riri, aku juga nggak mau ngeband lagi.” katanya seraya mengambil tas dan berjalan keluar aula.
Aku segera memperbaiki posisiku saat Mas Andi keluar dari aula sambik melirikku dengan tajam. Tak lama kemudian satu persatu mulai keluar dari aula setelah Mas Reza mengatakan sesuatu.
“Aku masih bisa main kalau cuma Riri yang nggak ada. Tapi kalau Andi juga nggak main, lama-lama band kita bisa bubar.” kata Mas Reza, kemudian berjalan keluar aula, disusul Mbak Arum.
Mbak Arum berhenti sebentar saat melihatku di depan aula. “Loh kamu disini, Nad?” sapa Mbak Arum. Aku mengangguk mengiyakan.
“Berarti kamu tadi denger semuanya dong? Hemmh... Jangan dimasukin hati ya perkataannya Andi. Dia bukannya nggak suka kamu jadi vokalis. Dia cuma nggak pengen ninggalin Riri.” kata Mbak Arum sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya. “Iya, Mbak. Aku juga ngerasa nggak enak sama Mbak Riri sama Mas Andi juga.” tanggapku.
“Tenang aja. Nanti juga semuanya baik-baik aja.” ucap Mbak Arum. “Duluan ya!” pamitnya sambil melambaikan tangan. Kubalas dengan sedikit lambaian dan senyuman.
Lama aku berdiri di depan aula, bimbang. Apa aku harus masuk ke dalam aula? Atau pulang? Hingga akhirnya kuputuskan untuk masuk ke aula. Siapa tahu Mas Dirga butuh seseorang buat menghiburnya?
Kulihat Mas Dirga duduk di kursi sambil menundukkan kepalanya. Rasanya sedih melihat Mas Dirga yang biasanya ceria jadi seperti itu.
Aku berjalan mengambil gitar milik Mas Dirga yang tergeletak begitu saja. “Kok belum pulang, Mas? Yang lain udah pulang daritadi lho.” ucapku sambil duduk di salah satu kursi.
Mas Dirga mengangkat kepalanya, sepertinya ia baru menyadari kehadiranku. “Nada? Kamu kapan kesini?” tanya Mas Dirga.
Aku tersenyum. “Barusan kok.” jawabku. Kemudian kupetik senar dari gitar yang kini ada dipangkuanku. Saat kutatap Mas Dirga yang ternyata tengah melihatku.
“Kamu bisa main gitar?” tanya Mas Dirga.
Aku tersentak. “Eh? Itu..sedikit, Mas.” jawabku. Ugh..lagi-lagi Mas Dirga terlihat keren. Dan...hei aku kenapa?
“Coba main dong, Nad.” pintanya.
Walaupun agak ragu dan juga...malu ditatap oleh Mas Dirga terus-menerus, akhirnya kumainkan juga gitar itu. “Tapi jangan ketawa ya, Mas kalau jelek.” ucapku.
Jari-jariku mulai menari memainkan gitar Mas Dirga. Mulutku pun secara reflek ikut mengimbangi permainan gitarku dengan melantunkan lirik lagu Adera yang berjudul Lebih Indah.
Saat ku tenggelam dalam sendu
Waktupun enggan untuk berlalu
Ku berjanji tuk menutup pintu hatiku
Entah untuk siapapun itu
Semakin ku lihat masa lalu
Semakin hatiku tak menentu
Tetapi satu sinar terangi jiwaku
Saat ku melihat senyummu
Kulihat Mas Dirga bangkit berdiri dan menarik kursi seraya menghampiriku. Perlahan ia duduk di hadapanku sambil menatapku yang tengah bernyanyi sambil memainkan gitar.
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Mas Dirga tersenyum mendengar aku bernyanyi, masih sambil menatapku. Membuat jemariku terasa kaku untuk terus memetik senar gitar ini. Lidahku terasa kelu, sepertinya semua darahku mengalir ke wajahku sehingga semua aktivitasku berhenti dan kurasa wajahku memerah.
“Loh kok berhenti?” tanya Mas Dirga tiba-tiba.
Aku tersentak. “Eh? Itu...biar nggak keterusan.” jawabku asal. Mungkin otakku terlalu sibuk mengatur debaran jantungku sehingga malas memikirkan jawaban yang tepat.
“Aku pikir kamu cuma bisa nyanyi, ternyata punya bakat yang tersembunyi.” kata Mas Dirga.
Aku tertawa. “Bukan tersembunyi lagi. Mas Dirga aja yang nggak tahu.” sahutku.
“Oh ya? Wah kayaknya aku harus update dulu nih.” gurau Mas Dirga seraya tertawa.
Hmmm... Entah kenapa aku suka melihat Mas Dirga tertawa. Lebih indah dan nyaman buat dilihat. Oke aku mulai ngelantur sekarang.
“Kayaknya sia-sia nih kalau bakat kamu cuma aku yang denger. Kamu harus bener-bener tampil besok waktu Smansix Euforia.” kata Mas Dirga bersemangat.
Aku teringat Mas Andi yang nggak mau vokalisnya diganti. “Tapi Mas Andi...” ucapku menggantung.
Mas Dirga tersenyum. “Andi emang begitu orangnya. Dia cuma nggak pengen kita ngelupain Riri. Pokoknya kamu tenang aja, kamu pasti tampil di SE.” ucapnya.
Aku tersenyum mendengar Mas Dirga yang begitu optimis. Rasanya...menyenangkan.
* * *
Selanjutnya walaupun kemarin Mas Andi nggak setuju aku ngegantiin Mbak Riri, tapi hari ini dia datang. Mungkin ini bentuk keprofesionalan dia. Dia tiba-tiba setuju aku bergabung di Success Band.
Di tengah latihan, Mas Andi tiba-tiba mengajak Mas Dirga bicara berdua. Entah apa yang mereka bicarakan tapi sepertinya sedikit serius.
 “Kamu tahu kenapa Andi nggak mau posisi Riri digantiin orang lain?” ucap Mbak Arum tiba-tiba saat Mas Reza keluar dari aula untuk ke kamar mandi.
Aku menoleh menatap Mbak Arum, kemudian menggelengkan kepala. Aku memang tidak tahu kenapa.
“Karena Andi suka sama Riri.” lanjut Mbak Arum. Aku terbelalak mendengarnya. Ini berita baru bagiku walaupun Mbak Arum bilang banyak yang tahu fakta itu. “Andi suka sama Riri makanya dia bersikeras supaya Riri ngeband lagi sama kita. Tapi aku tahu Riri nggak bakal mau. Dia nggak akan ngingkarin janji yang dia buat sendiri.” jelas Mbak Arum.
Aku hanya bisa mendengarkan dengan seksama tanpa tahu harus menanggapi apa.
“Tapi sayangnya Riri suka sama Dirga.” lanjut Mbak Arum. Oke, aku rasa ini mulai mirip sinetron. Tapi entah kenapa aku merasa sedih mendengar Mbak Riri suka sama Mas Dirga. Sial! Aku mulai lagi.
Mbak Arum ngelanjutin ceritanya. “Riri suka sama Dirga tapi Dirga cuma nganggep Riri sebagai temen. Sebelumnya, Riri pernah bilang kalau dia mau bilang ke Dirga soal perasaannya. Katanya dia bakal keluar dari band kalau Dirga nolak dia. Dan bener. Riri bukan orang yang mau menjilat ludahnya sendiri. Aku yakin Riri keluar dari band. Makanya Andi marah waktu denger alesan Riri keluar. Walaupun begitu, kita tetep anggep Riri sebagai vokalis Success Band. Sampai akhirnya Dirga lihat kamu waktu pensi. Dia bilang ke aku kalau dia pengen kamu jadi vokalis ngegantiin Riri. Aku sih setuju aja soalnya Riri juga nggak akan balik. Dan jadilah kayak kemarin itu.” cerita Mbak Arum panjang lebar.
Aku mengerti sekarang. Kenapa Mas Andi bersikeras kalau Mbak Riri nggak boleh digantiin siapapun. Kenapa Mas Dirga merasa bersalah. Kenapa Mas Andi ngelihatin Mas Dirga dengan sinis. Oh dengan aku juga. Aku ngerti.
Tak lama kemudian, Mas Dirga dan Mas Andi kembali. Entah apa yang mereka bicarakan tapi sepertinya mereka telah akur. Dan selanjutnya kami pun berlatih kembali.
* * *
Semakin hari Success Band berlatih semakin giat. Dan sudah fix kami bakal tampil di Smansix Euforia, membawakan dua lagu. Nggak terlalu banyak tapi bukan berarti jadi lebih mudah.
Hari ini hari terakhir latihan. Oh ya, beberapa hari terakhir kami lebih sering latihan di studio musik milik temannya Mas Dirga. Soalnya kalau latihan di aula juga harus gantian dengan yang lain. Kan yang mau tampil bukan cuma kami.
Meski ku bukan bintang di langit
Tapi cintaku yang terbaik
Tanpa sadar senyumku mengembang. Latihan hari ini bener-bener lancar tanpa halangan apapun. Bahkan selesai lebih awal dari yang diperkirakan.
“Aku pulang duluan ya. Mau ada acara soalnya.” Kata Mbak Arum tiba-tiba.
Serentak kami berempat mengangguk. Tak perlu menunggu lama hingga tinggal aku dan Mas Dirga saja di ruangan itu.
“Mau langsung pulang, Nad?” tanya Mas Dirga.
Kulihat Mas Dirga yang masih membereskan gitarnya. Tadi itu... Mas Dirga tanya sama aku kan? Nggak salah denger kan? Tapi kok Mas Dirga sibuk beresin gitar ya? Apa tadi cuma ilusi aku aja?
Tiba-tiba Mas Dirga menoleh ke arahku. Apa ia sadar kuperhatikan?
“Kok nggak jawab, Nad?” tanya Mas Dirga.
Aku menatapnya bingung.
“Eh, Mas Dirga tadi tanya apa?” tanyaku. Aduh kenapa aku jadi lemot begini?
Sambil menenteng gitarnya, Mas Dirga menatapku. Oh oh.. detak jantungku sepertinya mulai berulah lagi. “Kamu mau langsung pulang atau mau ikut aku?”
Aku menatapnya bingung. Haduh.. tuh kan aku lemot banget. Mana jantungku detaknya cepet banget lagi. “Eh, ikut kemana ya, Mas?” tanyaku.
“Ke atap.”
Alisku tanpa sadar mengernyit keheranan. “Atap?”
* * *
Today is Smansix Euforia’s Day...
Kalimat itulah yang pertama kali muncul di kepalaku begitu aku bangun pagi ini. Ya, hari ini adalah hari H. Harinya Smansix Euforia. Dan disinilah aku sekarang. Di panggung Smansix Euforia di lapangan SMA Negeri 6 Semarang dengan sebuah microphone di genggamanku.
Kami sedang tampil sore ini dengan membawakan lagu Lumpuhkanlah Ingatanku dari Geisha. Aku senang karena respon penonton cukup baik.
Tapi entah kenapa aku merasa akan terjadi sesuatu hari ini. Aduh.. pikiranku lagi ngelantur nih. Mungkin aku terlalu gugup. Yah.. walaupun aku pernah tampil di depan umum, tapi di acara sebesar ini.... sepertinya belum pernah.
Walaupun pada akhirnya tepuk tangan yang diberikan penonton tak seantusias bila band ibukota yang tampil, tapi aku cukup puas dengan penampilanku. Dan aku senang karena perasaan khawatirku hanyalah buah dari kegugupanku semata.
Bahkan penampilan kedua kami juga tak bisa dibilang buruk walau tak sebagus penyanyi aslinya. Cinta Terbaik... Cassandra.
Meski ku bukan yang pertama
Di hatimu tapi cintaku terbaik untukmu
Meski ku bukan bintang di langit
Tapi cintaku yang terbaik
Gemuruh tepuk tangan dari penonton mengundangku untuk tersenyum lebar.
Kami pun turun dari panggung dengan perasaan senang.
“Kamu tadi keren banget, Nad!” puji Mas Reza.
Aduh aku jadi malu. Kurasa pipiku sudah seperti kepiting rebus. Sangat meraaaah!
“Mas Reza bisa aja. Yang bikin keren bukan aku lagi, tapi kita semua. Iya kan, Mbak?” kataku sambil menepuk pelan bahu Mbak Arum.
Tak ada sahutan dari Mbak Arum. Kupalingkan wajahku untuk melihat Mbak Arum.
“Argh...” rintih Mbak Arum. Tangan kirinya terjulur perlahan untuk memegangku sebagai penopang sedangkan tangan kanannya meremas pelan perutnya.
Mataku terbelalak ketika melihat pucatnya wajah Mbak Arum. “Mbak Arum kenapa?” pekikku. Sontak membuat Mas Reza, Mas Dirga, dan Mas Andi memalingkan pandangannya ke arahku.
“Shaa..khi...tt..Nhaad...” rintih Mbak Arum sebelum tiba-tiba tubuhnya linglung dan pingsan.
“Mbak Arum!” pekikku.
Dengan sigap Mas Andi dan Mas Dirga menahan tubuh Mbak Arum. Kami segera membawa Mbak Arum ke rumah sakit terdekat menggunakan mobil Mas Reza.
* * *
Mas Reza terlihat mondar-mandir di depan ruang UGD. Mas Andi terduduk di ruang tunggu dengan kepala menunduk. Mas Dirga entah sibuk dengan ponselnya. Sedangkan aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, cemas akan keadaan Mbak Arum yang bahkan tidak kuketahui apa sakitnya.
“Sial! Kita harus balik nih!” umpat Mas Dirga tiba-tiba. Ponselnya yang sedari tadi tertempel di telinga, kini telah berpindah ke jemari tangannya.
Mas Andi yang tadi duduk dengan segera berdiri menghampiri Mas Dirga. “Kenapa, Ga?” tanyanya.
Aku sendiri hanya menatap bingung ketiga lelaki itu.
Mas Dirga berdecak kesal. “Panitia bilang kita harus balik soalnya nggak ada yang bisa ngisi waktu tampil kita.” Kata Mas Dirga.
“Kalau kita balik ke sekolah, yang jaga Mbak Arum disini siapa?” tanyaku.
Mas Andi terlihat mengacak rambutnya sedangkan Mas Reza terdiam tak tahu harus berbuat apa.
“Kalian balik aja di sekolah.” Celetuk Mas Reza tiba-tiba. Sontak ketiga pasang mata langsung tertuju padanya. Mas Dirga menatapnya bingung dan Mas Andi mengernyitkan keningnya. “Kalian balik aja terus lanjutin tampil. Yang penting ada penyanyi sama satu yang musik yang ngiringin udah cukup. Biar aku yang jagain Arum.” Jelas Mas Reza panjang lebar.
Itu artinya aku tampil sendiri. Bukan, tampil berdua.
“Aku setuju.”
Kupalingkan wajahku menatap Mas Andi yang tiba-tiba saja bersuara.
“Aku setuju sama usul Reza. Daripada Smansix Euforia jadi nggak lancar, lebih baik balik ke sekolah. Nada bisa nyanyi diiringin gitar kamu, Ga.” Katanya.
Mas Dirga terlihat berpikir sedangkan aku tidak tahu harus berbuat apa.
Okay, setuju.” Ucap Mas Dirga.
* * *
Di samping kiriku, Mas Dirga duduk dengan sebuah gitar di pangkuannya. Sebuah stand mic lengkap dengan microphonenya telah bertengger di hadapanku. Kami akhirnya setuju dengan usul Mas Reza. Dengan diantar Mas Andi, aku dan Mas Dirga kembali ke sekolah.
“Kita nanti nyanyiin lagu waktu di atap aja. Lagunya Aderra yang Lebih Indah.”
Aku masih ingat jelas kata-kata Mas Dirga tadi. Sedikit demi sedikit kegugupanku mulai luntur seiring dengan nyanyian yang kulantunkan. Kulihat Mas Dirga yang menikmati permainan gitarnya yang memang bagus.
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku terasa sempurna
Dan membuatku utuh
Tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Mas Dirga mengakhiri permainan gitarnya selang beberapa detik setelah lirik yang kulantunkan selesai. Terdengar riuh tepuk tangan penonton yang harus kuakui tidak seramai saat penampilanku dengan Success Band tadi. Tapi aku senang dapat mengakhiri penampilanku tanpa cacat sedikitpun.
Begitu selesai, kami pun turun dari panggung.
“Kita berhasil, Nad!” seru Mas Dirga.
Kulihat Mas Dirga dengan senyum tersungging di bibirnya. Aku pun mengangguk dengan antusias. Sangat antusias. Mungkin efek dari jantungku yang berulah lagi seperti habis marathon.
“Dirga...”
Tiba-tiba seorang gadis cantik menghampiri Mas Dirga. Kuperhatikan gadis itu yang sepertinya pernah kulihat. Tapi siapa ya?
Mataku terbelalak begitu menyadari siapa dia.
“Mbak Riri...” gumamku pelan.
Tanpa sadar kuambil langkah menjauhi mereka. Entah mengapa aku tak begitu suka. Apalagi melihat Mas Dirga yang tertawa lebar seperti itu. Dan juga sepertinya Mas Dirga tidak terlalu peduli padaku. Lihat saja! Dia bahkan tidak tahu aku meninggalkan mereka. Ah.. kenapa lagi jantungku? Sekarang terasa sesak.
* * *
Author’s POV
“Semarang, 31 Januari 2022”
Hening. Baik Citra maupun Bella, tak satupun dari mereka yang menyahuti akhir kisah dari cinta pertama Nada membuat gadis itu berdecak kesal.
“Hei! Aku kan udah cerita panjang lebar! Masa nggak ada responnya?” protes Nada.
Citra dan Bella pun memperbaiki duduknya seperti semula setelah beberapa saat bertengkurap di atas ranjang milik Nada.
“Jadi, intinya, kalian nggak pacaran?” tanya Bella memecah keheningan.
Nada melengos. “Aku kan udah bilang aku nggak pacaran sama Mas Dirga.” Jawab Nada.
Bella dan Citra membulatkan bibirnya ber-‘OH’ ria.
“Terus Mas Dirga pacaran sama Mbak Riri?” tanya Bella lagi.
Nada mengangkat kedua bahunya, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak tahu juga. Setelah Smansix Euforia aku jarang ketemu Mas Dirga. Mas Dirga kan akselerasi jadi sibuk buat UN.” Jelas Nada.
“Waktu di atap kamu yakin dia juga nggak ngomong sesuatu yang penting gitu?” tanya Citra.
Nada pun menggeleng pelan. “Entahlah aku nggak yakin. Yang aku inget sih enggak.” Jawab Nada pelan.
Bella mendengus. “Tukang PHP tuh Mas Dirga!” Celetuk Nada yang langsung dihadiahi sebuah toyoran di kepalanya dari Nada.
* * *
“Semarang, 01 Maret 2022”
Nada berjalan memasuki halaman SMA Negeri 6 Semarang. Setelah sekian lama ia tidak ke sekolah ini, akhirnya ia kembali untuk mengikuti Reuni Akbar. Banyak yang sudah berubah dari sekolah ini. Bahkan setiap kelasnya pun menggunakan AC. Berbeda sekali dengan jamannya dulu.
Nada berhenti di Hall Sekolah sambil celingukan mencari seseorang yang mungkin dikenalnya. Namun hanya angkatan kakak kelas yang ditemuinya sepanjang mata memandang.
“Nada....”
Tiba-tiba sebuah suara berat memanggil namanya. Ia palingkan wajahnya untuk mencari si empunya suara. Seorang pria tinggi dengan alis tebal dan senyum yang sangat familiar bagi Nada. Benarkah pria itu....
“Mas Dirga?” tanya Nada.
Pria itu tersenyum semakin lebar membuat Nada yakin jawabannya benar.
“Apa kabar, Nad?”
* * *
EPILOG
10 tahun yang lalu, H-1 Smansix Euforia, di atap gedung studio musik...
Nada mengikuti Dirga yang berjalan sambil menenteng gitarnya menuju atap gedung tempat studio musik yang Success Band gunakan untuk latihan. Dialihkannya pandangannya untuk menelanjangi panorama yang terlihat dari atap gedung itu. Pemandangan Kota Semarang. Ditambah langit sore yang mulai dihiasi semburat kekuningan sang surya.
Mau tak mau Nada terkagum-kagum melihat pemandangan yang jarang dilihatnya itu, walaupun gedung itu bukan merupakan gedung tertinggi.
Dirga kemudian duduk bersila.
“Duduk, Nad..” kata Dirga.
Nada pun ikut duduk di samping Dirga dengan menekuk kedua kakinya sambil ia peluk kedua lututnya.
“Enak kan disini?” tanya Dirga.
Nada mengangguk. Ia setuju dengan Dirga. Ia kemudian melirik gitar yang dibawa Dirga. “Itu gitarnya buat apa, Mas?” tanya Nada.
Dirga pun melihat gitar yang dipangkunya. “Oh.. aku pengen aja gitaran disini.” Jawabnya.
“Kalau gitu mainin, Mas.” Pinta Nada.
Dirga terlihat berpikir sebentar kemudian menganggukkan kepalanya. “Oke, tapi kamu nyanyi ya.” Sahut Dirga.
Akhirnya Nada pun mengiyakan perkataan Dirga.
Perlahan jemari terlatih milik Dirga mulai memetik senar gitarnya. Lantunan intro dari lagu Lebih Indah-nya Aderra pun mulai terdengar. Ah.. lagu kesukaan Nada.
Saat ku tenggelam dalam sendu
Waktupun enggan untuk berlalu
Ku berjanji tuk menutup pintu hatiku
Entah untuk siapapun itu
Semakin ku lihat masa lalu
Semakin hatiku tak menentu
Tetapi satu sinar terangi jiwaku
Saat ku melihat senyummu
Tanpa sadar mata Dirga terus memperhatikan gadis di hadapannya itu. Rambut Nada yang diikat tanpa poni bergoyang-goyang dihembus angin. Perlahan senyum Dirga mengembang.
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Kini ku ingin hentikan waktu
Bila kau berada di dekatku
Bunga cinta bermekaran dalam jiwaku
Kan ku petik satu untukmu
Nada terus melantunkan lagu itu. Ia semakin menikmati sore itu. Menikmati permainan gitar Dirga. Menikmati lirik yang dilantunkannya. Menikmati semburat jingga yang mulai terlukis di langit. Menikmati semuanya. Menikmati ciptaan Tuhan yang tanpa ia sadari mulai memikat hatinya. Dirga.
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Dua bait terakhir yang ikut dinyanyikan Dirga membuat Nada semakin senang. Sore yang sangat indah.
Dirga kemudian mengeluarkan handphonenya lengkap dengan sebuah headset. “Mau dengerin lagu nggak?” tanya Dirga.
Dengan antusias Nada menganggukkan kepalanya.
Dipasangkannya headset itu ke telinga kiri dan kanan Nada. Kemudian ia putar lagu dari handphonenya.
Awalnya Nada mengernyit mendengar lagu yang asing baginya itu. Namun lama-lama ia menikmati lagu tersebut. “Ini lagu siapa?” tanya Nada.
Dirga tersenyum. “Menurut kamu lagu siapa?”
Nada membelalakkan matanya. “Jangan-jangan... lagu ciptaan Mas Dirga?” tebak Nada. Dirga hanya tersenyum malu membuat Nada yakin akan tebakannya.
Selanjutnya ia begitu menikmati lagu tersebut.
Dirga terus menatap gadis itu dengan penuh senyuman. “Aku suka sama kamu, Nad.” Ucap Dirga pelan yang tentu saja tak dapat didengar telinga Nada yang disumpal headset.
Dan sore itu pun berakhir dengan sangat indah bagi kedua manusia itu.
- END -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar